Selasa, 05 Juli 2011

Menjadi Egois untuk Menjadi Bahagia


Irv dan Maryann sudah menikah 10 tahun. Irv sangat mencintai Maryann, baginya keinginan terkuat adalah membuat Maryann bahagia, sebab bila Mary bahagia Irv juga merasa bahagia.

Dari pandangan orang luar, Irv adalah pasangan ideal. Dari hal memberi rumah, merencanakan liburan akhir pekan, hingga menonton film, Irv selalu memperhatikan opini Mary dan memastikan bahwa keinginan Mary terpenuhi. Terkadang karena kurang informasi, Irv menebak keinginan Mary. Irv selalu berusaha menyenangkan Maryann. Anehnya Mary justru merasa frustasi.

Irv dan Mary kemudian menghadiri workshop menjadi bahagia. Pada sesi menuliskan ‘daftar mimpi’(dream list), Irv dengan mudah dapat menulis daftar yang panjang. Setelah dibandingkan dengan daftar mimpi Maryann, mereka berdua terkejut, isinya nyaris sama. Mereka saling berpandangan dan menyadari sesuatu yang telah terjadi : semua daftar mimpi Irv adalah sesuatu yang disukai Maryann. Inilah masalahnya, Irv tidak tahu mana yang merupakan keinginan murninya, mana yang keinginan istrinya.

Ternyata hal ini bermula sejak masa kecil Irv. Dia meyakini bahwa tugas utama dia adalah menyenangkan ibunya. Karena itu Irv kecil menjadi sangat pandai merasakan keinginan ibunya, tapi tidak untuk keinginannya sendiri. Itulah sebabnya bila Maryann menanyakan keinginan Irv sendiri, Irv tak mampu menjawabnya.

Sejak menyadari hal itu Irv mulai menanyakan kepada dirinya sendiri, apa yang benar-benar ia inginkan? Irv berusaha membuat daftar mimpi dia sendiri. Hal tersulit adalah menghilangkan ide orang lain. Dia terus menanyakan kepada dirinya sendiri, “Apa yang sungguh-sungguh saya inginkan? Keinginan saya. Hanya keinginan saya.”

Selama workshop beberapa hari, Irv memfokuskan perhatiannya untuk menyingkap apa yang benar-benar membuatnya senang dan bahagia. Akhirnya setelah dia membuat dream listnya dan membagikannya ke Maryann, Irv merasa menjadi lebih orisinil daripada sebelumnya. Irv merasa menjadi dirinya sendiri.

Beberapa bulan kemudian penyelenggara workshop tersebut, Rick Foster, bertemu dengan Irv dan Maryann. Mengejutkan, ternyata Maryann menyukai pribadi Irv yang baru. Mary tidak lagi menemui pasangan yang selalu menurut kepadanya. Mary merasa senang mengenal Irv yang lebih asli.

Moril dari cerita di atas adalah kita perlu menjadi diri sendiri. Kita perlu untuk juga melayani diri sendiri. Hidup dengan senantiasa berfokus kepada orang lain adalah hidup yang tidak seimbang. Bukankah salah satu misi kita adalah memenuhi peran kita secara pribadi kepada diri sendiri? Rick Foster, penulis buku How We Choose to be Happy, menamakan hal ini adalah Centrality, suatu sikap berfokus kepada apa yang kita inginkan dan bukan melayani apa yang diinginkan orang lain.

Secara tidak sadar sering kita terlalu memperhatikan keinginan orang lain. Mungkin karena terlalu cinta kepada pasangan. Mungkin juga karena terlalu takut kepada atasan atau senior. Akibatnya kita menjadi peka kebutuhan orang lain namun tumpul terhadap kebutuhan diri sendiri. Untuk hidup seimbang, menjadi ‘egois’ ternyata juga penting. Siapa lagi yang harus bertanggungjawab memikirkan diri kita, kalau bukan kita sendiri?

Mengenal orang lain adalah bijaksana, 
M
engenal diri sendiri adalah pencerahan.


(Lao Tsu)



Sumber Facebook.com