Jumat, 29 April 2011

Mulailah Memberi

Bila tak seorang pun berbelas kasih pada kesulitan kita. Atau, tak ada yang mau merayakan keberhasilan kita. Atau tak seorang pun bersedia mendengarkan, memandang,  memperhatikan apa pun pada diri kita. Jangan masukkan ke dalam hati. Manusia selalu disibukkan oleh urusannya sendiri. Manusia kebanyakan mendahulukan kepentingannya sendiri. kita tak perlu memasukkan itu ke dalam hati. Karena hanya akan menyesakkan dan membebani langkah kita.

Ringankan hidup kita dengan memberi pada orang lain. Semakin banyak kita memberi semakin mudah kita memikul hidup ini.

Berdirilah di depan jendela. Pandanglah keluar. Tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kita berikan pada dunia ini. Pasti ada alasan kuat mengapa kita hadir di sini.

Bukan untuk merengek atau meminta dunia menyanjung ktta. Keberadaan kita bukan untuk kesia-siaan. Bahkan seekor cacing pun dihidupkan untuk menggemburkan tanah. Dan, sebongkah batu dipadatkan untuk menahan gunung. Alangkah hebatnya kita dengan segala kekuatan yang tak dimiliki siapapun untuk mengubah dunia. Itu hanya terwujud bila kita mau memberikannya.

Aku melempar sekulum senyum
senyumku berlayar jauh…….
di samudera kehidupan yang luas ini…
dan..
jauh lebih banyak lagi dari yang dapat aku hitung
ternyata ia kembali berlayar menuju aku!!!!!!!!!

Aku kirimkan sebuah pikiran tentang kebahagiaan,
ke tempat dimana dia amat sangat dibutuhkan
dan…
segera sesudahnya.. .
Aku temukan kebahagiaan itu tumbuh bertambah dalam gudangku sendiri

Dengan bijaksana aku bagikan hartaku yang tidak seberapa
keping-keping emas yang ku peroleh dengan susah payah..
dan …
tiba-tiba… uang itu mengalir kembali seratus kali lipat dalam petiku

Aku membantu orang lain mendaki sebuah bukit..
hal sepele saja
dan..
toh hal itu tetap membawa berkah melimpah buatku
suatu persahabatan baru

Setiap hari aku berpikir saat aku bangun
Bagaimana aku bisa mendapatkan sesuatu?
Tapi yang aku tahu…
Dengan memberilah.. .aku akan menerima..

Kutepuk sebelah tangan sementara berbisik,
"Awan-awan itu akan pergi"
dan aku merasakan hidupku sangat penuh berkat
sepanjang jam-jam  di setiap waktuku.


Sumber Facebook

Foto Di Atas Meja

Seorang artis tengah dirundung malang. Lantaran mencandu narkoba, ia terserang penyakit maut HIV. Kini ia tergolek sekarat di rumah. Seorang teman datang mencoba menghibur dan meneguhkan imannya. Namun dosa-dosa yang telah diperbuat membutakan mata si artis. Ia putus asa.

"Aku berdosa," akunya memelas, "Aku telah menghancurkan hidupku dan kehidupan banyak orang di sekelilingku. Kini aku akan tersiksa di neraka. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat."

Dari sisi tempat tidurnya, sang teman melihat sebuah potret gadis kecil yang cantik terpigura di atas meja. "Ini foto siapa?" katanya. Mendengar pertanyaan itu sang artis antusias, semangat hidupnya tergerak kembali "Oh, itu foto putriku. Dialah mutiara hidupku, ia satu-satunya yang indah dalam hidupku."

"Apakah kamu akan menolongnya bila ia mendapat kesulitan, atau melakukan kesalahan? Maukah kamu memaafkan dia? Apakah kamu masih mencintainya? "

"Tentu saja." Jawab sang artis antusias. "Aku akan lakukan apapun demi dia. Mengapa kau lontarkan pertanyaan seperti ini?"

"Saya ingin kau tahu," jawab sang teman, "bahwa Tuhan juga memiliki foto dirimu di atas meja-Nya."

Wajah artis itu terkesiap. Sudah terlalu lama ia tidak mendengar kata Tuhan, apalagi mengucapkannya.

Sastrawan Rusia, Leo Tolstoy, dalam karyanya Last Diaries pernah menulis, kamu selalu saja berpikir tentang orang lain, padahal Tuhan selalu memikirkan kamu. Apalagi sesungguhnya, Tuhan itu sering mengunjungi kita, namun kita kerap kali tidak ada di rumah.


Sumber Facebook

Jumat, 22 April 2011

Cerita Paskah


Edith Burns adalah seorang wanita Kristen yang luar biasa, tinggal di San Antonio. Ia memiliki kebiasaan memperkenalkan dirinya sendiri kepada semua orang.

“Hallo, nama saya Edith Burns. Apakah Anda mempercayai Paskah?” demikian ia selalu bertanya.

Selanjutnya, ia akan menjelaskan arti Paskah pada orang yang ditemuinya, dan melalui dia banyak orang percaya.

Suatu ketika laporan laboratorium mengatakan bahwa Edith terkena kanker, dan tidak akan bertahan hidup lebih lama. Namun, semua orang di tempat dia dirawat kagum padanya kecuali Phyllis Cross, kepala perawat.

Suatu pagi, dua perawat yang seharusnya menjaga Edith berhalangan masuk. Phyllis Cross terpaksa menggantikan mereka. Ketika dia masuk kamar Edith, Edith memberikan senyum lebar dan berkata,

“Phyllis, Tuhan mengasihimu, dan aku telah berdoa bagimu.”

“Hentikan saja doamu karena tidak ada gunanya bagiku,” jawab Phyllis. “Baiklah , aku akan berdoa meminta agar Tuhan tidak memanggilku sebelum kamu bertobat…”

“Kamu tidak akan pernah mati karena hal itu tidak akan pernah terjadi potong Phyllis lalu segera meninggalkan ruangan.

Sesudah peristiwa itu, setiap kali Phyllis Cross melintasi ruangannya , Edith selalu berkata,

“Tuhan mengasihimu, Phyllis. Saya juga mengasihimu, saya berdoa

bagimu.”

Suatu hari Phyllis Cross seperti ditarik magnet masuk ke ruangan Edith.

Edith segera menyambutnya, “Saya sangat senang kamu mau datang, sebab Tuhan telah berkata kepadaku bahwa ini merupakan hari khususmu.”

“Edith, kamu bertanya pada setiap orang disini, apakah Anda mempercayai Paskah. Tetapi kamu tidak pernah menanyakannya padaku.”

“Phyllis, sebenarnya saya ingin, tapi Tuhan berkata padaku untuk menunggu sampai kamu meminta, dan sekarang kamu telah memintanya.”

Edith Burns lalu mengambil Alkitabnya.

Ia bercerita dengan Phyllis Cross mengenai Paskah, mulai dari kematian sampai kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Sesudah itu, ia bertanya,

“Phyllis, percayakah kamu pada Paskah? Percayakah kamu bahwa Tuhan Yesus hidup dan Dia ingin tinggal di dalam hatimu?”

“Saya percaya dengan segenap hati, dan saya menginginkan Yesus tinggal dalam hidup saya.” jawabnya mantap.

Phyllis Cross berdoa dan mengundang Yesus kristus masuk dalam hatinya.

Pada hari Minggu Paskah, Phyllis Cross datang ke rumah sakit. Dia ingin mengunjungi Edith, memberikan bunga Lili, serta mengucapkan selamat Paskah.

Namun, ia terlambat. Edith telah berbaring tak bernyawa. Alkitab bersampul hitam ada di pangkuannya. Tangan kirinya ada di atas Yohanes 14:

“Di rumah Bapa-ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu. Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya tempat di mana Aku berada kamu pun berada.”

Tangan kanannya ada di atas Wahyu 21:4 :

“Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”

Ada senyum manis di wajahnya.

Phyllis Cross menatap tubuh Edith, dan mengangkat wajahnya ke atas. Air mata mengalir di pipinya, dan dia berkata,

“Selamat Paskah, Edith!”

Phyllis Cross meninggalkan Edith dan berjalan keluar. Saat bertemu dengan dua siswa perawat, ia berkata,

“Hai, nama saya Phyllis Cross. Apakah kamu percaya pada Paskah?”

Tuhan, kami percaya bahwa Engkau telah bangkit.



Sumber Facebook

Selasa, 05 April 2011

Setan atau Malaikat?


Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat”.

–John Scheffer-

Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

—–

“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”

—–

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.

Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.




Sumber Facebook

Pakaian Kebahagiaan


Suatu ketika, tersebutlah seorang raja yang kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah. Emas, permata, berlian, dan semua batu berharga telah menjadi miliknya. Tanah kekuasaannya, meluas hingga sejauh mata memandang. Puluhan istana, dan ratusan pelayan siap menjadi hambanya.

Karena ia memerintah dengan tangan besi, apapun yang diinginkannya hampir selalu diraihnya. Namun, semua itu tak membuatnya merasa cukup. Ia selalu merasa kekurangan. Tidurnya tak nyenyak, hatinya selalu merasa tak bahagia. Hidupnya, dirasa sangatlah menyedihkan.

Suatu hari, dipanggillah salah seorang prajurit tebaiknya. Sang Raja lalu berkata, “Aku telah punya banyak harta. Namun, aku tak pernah merasa bahagia. Karena itu, ujar sang raja, “aku akan memerintahkanmu untuk memenuhi keinginanku. Pergilah kau ke seluruh penjuru negeri, dari pelosok ke pelosok, dan temukan orang yang paling berbahagia di negeri ini. Lalu, bawakan pakaiannya kepadaku.”

“Carilah hingga ujung-ujung cakrawala dan buana. Jika aku bisa mendapatkan pakaian itu, tentu, aku akan dapat merasa bahagia setiap hari. Aku tentu akan dapat membahagiakan diriku dengan pakaian itu. Temukan sampai dapat! ” perintah sang Raja kepada prajuritnya. “Dan aku tidak mau kau kembali tanpa pakaian itu. Atau, kepalamu akan kupenggal !!

Mendengar titah sang Raja, prajurit itupun segera beranjak. Disiapkannya ratusan pasukan untuk menunaikan tugas. Berangkatlah mereka mencari benda itu. Mereka pergi selama berbulan-bulan, menyusuri setiap penjuru negeri. Seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, seperti perintah Raja. Di telitinya setiap kampung dan desa, untuk mencari orang yang paling berbahagia, dan mengambil pakaiannya.

Sang Raja pun mulai tak sabar menunggu. Dia terus menunggu, dan menunggu hingga jemu. Akhirnya, setelah berbulan-bulan pencarian, prajurit itu kembali. Ah, dia berjalan tertunduk, merangkak dengan tangan dan kaki di lantai, tampak seperti sedang memohon ampun pada Raja. Amarah Sang Raja mulai muncul, saat prajurit itu datang dengan tangan hampa.

“Kemari cepat!!. “Kau punya waktu 10 hitungan sebelum kepalamu di penggal. Jelaskan padaku mengapa kau melanggar perintahku. Mana pakaian kebahagiaan itu!” gurat-gurat kemarahan sang raja tampak memuncak.

Dengan airmata berlinang, dan badan bergetar, perlahan prajurit itu mulai angkat bicara. “Duli tuanku, aku telah memenuhi perintahmu. Aku telah menyusuri penjuru negeri, seluas cakrawala, hingga ke ujung-ujung buana, untuk mencari orang yang paling berbahagia. Akupun telah berhasil menemukannya.

Kemudian, sang Raja kembali bertanya, “Lalu, mengapa tak kau bawa pakaian kebahagiaan yang dimilikinya?

Prajurit itu menjawab, “Ampun beribu ampun, duli tuanku, orang yang paling berbahagia itu, TIDAK mempunyai pakaian yang bernama kebahagiaan.”

***

Teman, bisa jadi, memang tak ada pakaian yang bernama kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan, seringkali memang tak membutuhkan apapun, kecuali perasaan itu sendiri. Rasa itu hadir, dalam bentuk-bentuk yang sederhana, dan dalam wujud-wujud yang bersahaja.

Seringkali memang, kebahagiaan tak di temukan dalam gemerlap harta dan permata. Seringkali memang, kebahagiaan, tak hadir dalam indahnya istana-istana megah. Dan ya, kebahagiaan, seringkali memang tak selalu ada pada besarnya penghasilan kita, mewahnya rumah kita, gemerlap lampu kristal yang kita miliki, dan indahnya jalinan sutra yang kita sandang.

Seringkali malah, kebahagiaan hadir pada kesederhanaan, pada kebersahajaan. Seringkali rasa itu muncul pada rumah-rumah kecil yang orang-orang di dalamnya mau mensyukuri keberadaan rumah itu. Seringkali, kebahagiaan itu hadir, pada jalin-jemalin syukur yang tak henti terpanjatkan pada Ilahi.

Sebab, teman, kebahagiaan itu memang adanya di hati, di dalam kalbu ini. Kebahagiaan, tak berada jauh dari kita, asalkan kita mau menjumpainya. Ya, asalkan kita mau mensyukuri apa yang kita punyai, dan apa yang kita miliki.

Adakah “pakaian-pakaian kebahagiaan” itu telah Anda sandang dalam hati? Temukan itu dalam diri. 




Sumber Facebook